top of page

How To Create Coaching Culture That Makes People EAGER to be coached?

A coaching culture that makes people eager to be coached requires more than just rolling out training. It is about building trust, shifting mindsets, and making coaching feel safe, valuable and inspirational. Here is a structured approach you can use.


🔑 1. Mulai dari Teladan Pemimpin

  • Pemimpin harus memberi contoh nyata. Jika eksekutif secara terbuka mencari coaching - dan mendapatkan coaching dari executive coach eksternal misalnya - membagikan pembelajaran yang mereka dapatkan, dan menunjukkan kerentanan, maka karyawan akan melihat coaching sebagai kekuatan, bukan kelemahan.

  • Contoh: Seorang CEO secara terbuka mengatakan bahwa dukungan coach membantunya mengambil keputusan bisnis penting.

👉 Pesan yang tersampaikan: “Kalau pemimpin tertinggi pun dicoach, maka bagi saya coaching adalah sebuah kehormatan.”


🔑 2. Normalisasi Coaching dalam Pekerjaan Sehari-hari

  • Integrasikan perilaku coaching dalam interaksi harian: mendengarkan dengan sungguh-sungguh, bertanya terbuka, mendorong refleksi.

  • Geser dari budaya instruktif (“memberi tahu”) ke budaya penasaran (“bertanya”).

  • Berikan momen micro-coaching dalam one-on-one, bukan hanya di sesi formal.

👉 Pesan yang tersampaikan: “Coaching bukan acara khusus, melainkan cara kita bertumbuh bersama setiap hari.”


🔑 3. Ubah Persepsi Coaching: dari Remedial ke Pengembangan

  • Orang cenderung menolak coaching jika dianggap hanya untuk “karyawan bermasalah.”

  • Posisikan coaching sebagai reward, investasi, dan akselerator untuk talenta unggul.

  • Gunakan storytelling: bagikan kisah sukses di mana coaching membantu seseorang mendapat promosi, lebih tangguh, atau menemukan terobosan.

👉 Pesan yang tersampaikan: “Coaching diberikan untuk talenta terbaik, bukan hanya yang tidak perform.”


🔑 4. Bangun Psychological Safety

  • Dorong pemimpin untuk minta feedback lebih dulu sebelum memberi feedback.

  • Pastikan sesi coaching bersifat rahasia dan mendukung, bukan evaluatif.

  • Hargai dan beri apresiasi pada pemimpin yang menciptakan ruang aman untuk percakapan terbuka.

👉 Pesan yang tersampaikan: “Aman untuk dicoach, karena ini tentang pertumbuhan, bukan penilaian.”


🔑 5. Bekali & Berdayakan Coach Internal

  • Latih manajer dengan keterampilan coaching (listening, questioning, empati).

  • Bentuk kelompok coach internal tersertifikasi sehingga karyawan punya pilihan.

  • Sediakan “coaching circles” atau peer coaching untuk menyebarkan budaya coaching.

👉 Pesan yang tersampaikan: “Dukungan selalu tersedia kapan pun dibutuhkan.”


🔑 6. Tunjukkan Nilai Nyata

  • Ukur hasil coaching (misalnya employee engagement, retensi, tingkat promosi).

  • Bagikan cerita sukses nyata—bagaimana seseorang berkembang, kinerjanya meningkat, atau lebih puas melalui coaching.

  • Rayakan pencapaian coaching dalam komunikasi perusahaan.

👉 Pesan yang tersampaikan: “Coaching bukan hanya percakapan—tetapi membawa hasil nyata.”


Intinya: Budaya coaching di mana orang bersemangat untuk di-coach akan tumbuh ketika coaching terasa:

  • Aman: tidak ada stigma, tidak dihakimi

  • Bernilai: terhubung dengan pertumbuhan karir nyata

  • Diteladani: pemimpin melakukannya lebih dulu

  • Mudah diakses: selalu ada coach yang siap mendukung


ree

 
 
 

Recent Posts

See All
Analisis KMK RI No. 149 Tahun 2020

Ketika mengajar di program CHRP Batch C14 (93) pagi tadi mengenai Managing Learning & Development, saya merujuk pada Keputusan Menteri Ketenagakerjaan RI No. 149 Tahun 2020 Mengenai Standar Kompetensi

 
 
 

1 Comment

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Febriano
Sep 11
Rated 5 out of 5 stars.

Alhamdulillah, terima kasih banyak Ibu.

Penjelasan ibu sangat gamblang dan mudah dicerna. Benang merah yang utama adalah perlu ada nya monitoring untuk mengukur manfaat dari coaching ( langkah nomor 6 ). Teknik ini in sya Allah bisa langsung kami terapkan, sehingga semakin lama semakin dirasakan kebutuh coaching, Thank you so much Ibu

Like
bottom of page