Coaching Principles: Support, Trust and the Power of Boundaries
- Farvis Indonesia
- Sep 11
- 2 min read
Prinsip Coaching: Dukungan, Kepercayaan, dan Kekuatan Batasan
Dalam coaching—dan juga dalam kepemimpinan—ada tiga prinsip utama yang sangat penting:
✨ Komitmen untuk mendukung orang lain
✨ Membangun hubungan berdasarkan kepercayaan
✨ Menghindari asumsi
Prinsip-prinsip ini menciptakan ruang untuk pertumbuhan, pembelajaran, dan transformasi. Namun, seringkali prinsip ini bisa disalahpahami—bahkan disalahgunakan.
Mari kita elaborasi ketiga prinsip utama tersebut satu per satu, dan "what could go wrong" jika prinsip tersebut disalahpahami.
Komitmen untuk Mendukung Orang Lain
Seorang coach sejati hadir dengan kepedulian dan perhatian, berkomitmen untuk membantu orang lain mencapai keberhasilan. Namun kadang, komitmen ini disalahartikan. Ada yang menguji batas, mengharapkan perhatian tanpa batas, atau melihat empati sebagai keberpihakan. Jadi sebaiknya, buatlah kesepakatan yang jelas dan pastikan tercipta batas profesional agar niat baik untuk mendukung orang lain dapat tetap berkelanjutan.
Kepercayaan sebagai Fondasi
Kepercayaan adalah fondasi coaching. Ketika rasa percaya telah terbangun, seseorang akan berani lebih terbuka dalam menunjukkan kerentanan dan berani melangkah menuju tujuan baru.
Tetapi, kepercayaan juga bisa disalahgunakan. Tidak jarang, keterbukaan dianggap sebagai kedekatan pribadi, atau kebaikan disalahartikan menjadi sesuatu yang bersifat personal—misalnya "kegenitan". Hal ini bukan hanya merusak hubungan coaching, tetapi juga mengancam integritas profesional. Kehangatan harus selalu diimbangi dengan batas yang jelas.
Menghindari Asumsi
Coach yang baik memilih rasa ingin tahu, bukan menghakimi; bertanya, bukan berasumsi. Ironisnya, justru orang lain yang sering membuat asumsi tentang niat seorang coach. Empati bisa dianggap sebagai ketertarikan pribadi. Dorongan positif bisa dipersepsikan sebagai perhatian khusus.
Karena itu, kejelasan sangat penting. Seorang coach tidak hanya harus menghindari asumsi, tetapi juga berani mengoreksi persepsi yang keliru sejak awal.
Refleksi Pribadi
Saya pernah mendampingi seorang rekan melewati masa transisi yang sulit. Saya meluangkan waktu ekstra, mendengarkan dengan saksama, dan mendorongnya untuk melihat peluang baru. Belakangan, saya mendengar bahwa dukungan tulus saya disalahartikan sebagai “perhatian khusus.”
Pengalaman itu mengingatkan saya pada satu hal penting: niat baik membutuhkan batas yang jelas. Tanpa itu, kepercayaan mudah sekali dipelintir menjadi kesalahpahaman. Sejak saat itu, saya selalu menegaskan tujuan dan memastikan setiap hubungan coaching ada di jalur profesional.
Pelajaran Kepemimpinan
Coaching adalah bentuk kemurahan hati. Namun, kemurahan hati tanpa batas justru berisiko.
Para pemimpin dan coach perlu:
✅ Menegaskan kembali peran dan ekspektasi.
✅ Menjaga kehangatan dengan jarak profesional.
✅ Mengoreksi persepsi keliru sebelum berkembang.
Ketika dukungan, kepercayaan, dan keterbukaan dipadukan dengan batasan yang tegas, coaching menjadi sebuah keteladanan rasa hormat dan profesionalisme—bukan hubungan yang kabur.
💡 Pemikiran akhir: Empati bukan kelemahan. Kepercayaan bukan kedekatan pribadi. Dukungan bukan "perhatian khusus". Semuanya adalah ciri kepemimpinan yang kuat—jika berlandaskan integritas dan dijaga dengan batasan yang sehat.





Comments